Minggu, 10 Maret 2013

Rinai Hujan Untuk Wina

Mendung menggantung tebal. Kelihatan jelas dari jendela ruang kerjaku. Sembari merapikan meja kerja kulirik jam di pojok meja sana. Lima menit lagi pulang. Kubuka tas jinjing apakah ada payung di dalam nya, ya aman. Berarti aku bisa langsung pulang menerobos hujan yang sebentar lagi mengguyur bumi. Terlihat di seberang lorong, Mbak Cici juga sudah siap-siap untuk pulang. Dia melambaikan tangan yang kubalas dengan senyuman.

Rintik gerimis kecil turun ketika aku baru menginjakkan kaki di halte busway. Lumayan, nggak harus basah-basahan. Baru ada tiga atau empat orang sedang menunggu bus datang. Kumainkan gadget sambil menunggu. Tumben hari ini bus nggak begitu sesak tapi semua tempat duduk sudah terisi. Aku sedang asik dengan gadget ketika tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahu.

“Wina ya? tanya sosok dibelakangku.
“Ya?” jawabku masih bingung.
“Lupa ya? Nino, Batam. Masih ingat nggak?” orang itu menjelaskan. Ku lihat lagi wajahnya untuk memastikan. Deg.
“Mas Nino? Apa kabar?” Aku balik bertanya. Masih lumayan nggak percaya.
“Iya Win, baik.” jawabnya sambil tersenyum.
Obrolan kami berlanjut sampai akhirnya aku harus turun lebih dulu. Rasa nggak percaya masih menggelayut di hatiku. Mas Nino, setelah tiga tahun tanpa kabar. Hari ini aku dipertemukan lagi di Jakarta. Allah, inikah jawaban atas doa-doaku. Pop!!!. Ingat Win, siapa tahu dia sudah beristri, hati kecilku mengingatkan. Ah, aku yang masih berharap. Padahal dulu juga bukan siapa-siapa cuma sekedar teman. Cukup dekat sebenarnya tapi memang tidak ada hubungan spesial apa-apa.

                                                                      ***************

“Win, hari ini ada acara nggak?” tanya Mela teman sekamarku.
“ Nggak ada, cuma pengen ngabisin nih buku” ku jawab sambil melambaikan novel ke arahnya.
“ Wina, apa sih yang bisa mengalihkan perhatianmu selain buku dan buku. Temenin aku shopping sebentar yuk.” pinta Mela.
“Tumben, mas Harismu kemana?”jawabku masih sambil asik membaca.
“Itu dia, mas Haris sedang ada acara sama temen-temennya. Hayuuuk. Ya? Mau ya?” rengek Mela sambil memelas.
“Okay nona, sekalian aku nyari buku baru deh.” jawabku.
“Yesss, makasih sahabat terbaikku....” Mela kegirangan sambil memeluk erat, aku hanya tersenyum. Segera aku berganti baju. Tak butuh waktu lama karena sudah menjadi kebiasan walaupun hari libur aku selalu bangun pagi dan mandi sebelum shalat subuh.

Bukan Mela namanya kalau ketika shoping semua toko nggak dimasukin. Tak terasa sudah jam dua belas lebih, pantesan perut sudah kukuruyuk minta diisi. Kami pun menuju foodcourt untuk makan siang. Selesai makan kami naik ke lantai 5 mencari mushola untuk menunaikan shalat dhuhur.
“Mel, aku nyari buku sebentar ya, kamu nggak apa-apa kan? Nanti kita ketemu di lobby sekalian pulang.” pintaku .
“Mmm, iya deh nggak apa-apa, kalau sudah selesai nanti aku telfon, gimana?” tawar Mela.
“Okay, siaaap.”jawabku singkat. Aku berjalan ke arah toko buku, sementara Mela melanjutkan shopingnya.

Toko buku apapun tak pernah membuat aku bosan untuk berlama-lama tinggal. Justru ini adalah tempat yang sering kali aku jadi lupa waktu. Aku berjalan diantara rak-rak buku sampai menemukan buku-buku yang kuinginkan. Ku ambil satu dan membacanya cukup lama di sana. Akhirnya aku pilih beberapa buku dan segera ke kasir untuk membayarnya. Mela sudah menelfon beberapa menit yang lalu. Tanpa sengaja aku menabrak seseorang.
“Ups, maaf ya.” kulihat orang yang aku tabrak. Dan.....
“Iya, nggak apa-apa. Hai Wina, ketemu lagi kita.” sapa Mas Nino.
“Hai mas, Mas Nino di sini juga ?” tanyaku.
“Iya Win, kebetulan tadi dari rumah teman sekalian mampir ke sini. Wina sudah mau pulang? Kita bareng saja sakalian ya.” tawar Mas Nino.
“ Makasih mas, teman Wina sudah menunggu di depan.”
“Oooh, kalau begitu kita bareng yuk ke lobby.” Mas Nino menawarkan lagi.
“Iya deh.”
Masih seperti yang dulu, tidak banyak berubah. Obrolannya yang hangat dan menyenangkan. Berita-berita baru yang sepertinya tidak pernah habis untuk dibagikan. Ya, Mas Nino, hanya raut wajahnya yang bertambah matang.

“Hai Mel, sudah lama nunggu ya? Kenalin ini Mas Nino teman Wina dulu di Batam, Mas Nino, ini Mela.” aku mengenalkan mereka masing-masing.
“Hai, Mela.” sapa Mela.
“Hallo, Nino.” . Mereka bersalaman.
”Kita pulang bareng saja ya. Nanti kalian tinggal tunjukin saja alamat rumahnya, gimana?” Mas Nino menawarkan. “Nggak ngerepotin nih mas?”tanyaku.
“Nggak, sepertinya kita searah.”
“Win, ganteeeng.” bisik Mela.
“Apa-apaan sih.” aku balas berbisik
“Kenapa kamu nggak pernah cerita ke aku kalau punya cowok seganteng ini” bisik Mela lagi.
“Mela....Mas Nino bukan cowokku...” jawabku sambil mencubit Mela pelan.
“Iya, ampun....ampun...”Mela menyerah sambil terkikik.

Semenjak itu Mas Nino sering main ke rumah. Kadang kami keluar untuk makan bersama. Ketika Mela sedang tidak dengan mas Harisnya, aku selalu menyertakan dia bersama kami. Mas Nino juga nggak merasa keberatan. Karena menurutku lebih nyaman kalau bertiga. Tiga tahun yang lalu pun kami seperti ini. Mas Nino adalah teman sekaligus abang. Itulah hubungan kami sebenarnya. Kalau orang-orang menganggap kami pacaran, tidak demikian adanya. Tidak ada kata pacaran dalam kamus hidupku. Dulu hingga sekarang. Hanya teman, dan teman sebanyak-banyaknya. Perpisahan antara aku dan mas Nino terjadi ketika masa kerja kami habis. Mas Nino pulang ke kampung halamannya di Surabaya dan aku pulang ke Jakarta. Seminggu, dua minggu. Sebulan, dua bulan kami masih saling bertukar kabar. Hingga suatu hari tak pernah lagi ada kabar dari mas Nino. Aku masih mencoba beberapa kali mencari kabarnya. Tapi ketika beberapa kali itu tak berbuah hasil, aku menyerah.
                                             
                                                      ************************

Minggu sore ini aku tidak punya jadwal acara apapun. Tumben, Mas Nino juga nggak main ke rumah. Ada acara sama teman-temannya. Aku tahu dari BBM. Jadi aku gunakan waktu untuk membaca buku-buku yang sempat terabaikan. Duduk di beranda rumah - beranda kos-kosan tepatnya- ditemani rinai hujan. Ya.Entah kenapa hujan selalu membuatku hanyut. Hujan selalu membuatku merasakan geletar rasa di hati. Entah apa, aku tidak bisa menjabarkannya.
Dari sudut mata, aku menangkap hadirnya seseorang. Aku kira Mela atau penghuni kos yang lain. Jadi aku terus khusuk dengan bacaanku. Ketika sosok itu duduk di kursi sebelahku, aku baru mengankat muka untuk memastikan. Ternyata Mas Nino sedang memandangiku sambil tersenyum.
“Hai Win, kaget ya?” sapanya. Ada yang beda, firasatku.
“ Acara sama teman-temannya nggak jadi?” jawabku masih biasa saja.
“ Sebenarnya nggak ada acara sama teman tapi aku menyiapkan ini” jawab Mas Nino sambil menyodorkan sesuatu yang berwarna merah plus senyum termanis yang dia punya.
“Bukalah Win, itu untuk kamu. Aku sudah menyiapkan ini dari lama” Mas Nino memandangiku.
Aku masih diam. Ku ambil kotak merah itu dan membukanya perlahan. Ada lingkaran perak di dalamnya. Ku pandangi benda itu dan mas Nino bergantian.
“Itu untukmu Wina. Maukah kamu menjadi istriku?”kata Mas Nino pelan tapi penuh arti. Sorot matanya tajam melelehkan hatiku.
“Untukku mas? Istri?” aku masih bertanya, setengah tidak percaya. Mas Nino melamarku. Benarkah?
“Iya, itu untuk kamu, Win. Maukah kamu menjadi istriku dan menjadi ibu dari anak-anakku”ulang mas Nino. “Wina mas?”aku meyakinkan diriku sendiri.
“Iya, karena aku merasa Winalah orang yang aku butuhkan selama ini. Setelah persahabatan kita yang sudah begitu lama. Setelah aku sempat kehilangan kabarmu cukup lama. Dan setelah kita dipertemukan lagi. Hari ini, aku meminta Wina untuk menjadi istri” terang Mas Nino.
Lama aku terdiam. Menimbang-nimbang. Sambil menunduk aku menjawab.
“Iya mas, Wina mau”
“Terima kasih Wina” sambut Mas Nino sambil menjabat tanganku.

Aku masing setengah yakin dengan situasi ini. Mas Nino melamarku. Doaku kah? atau doa orang-orang yang menyayangiku. Karena sebenarnya sosok seperti Mas Nino lah yang selama ini aku idamkan menjadi suami. Sebenarnya aku juga berharap banyak dalam ikatan persahabatan kami dulu. Tapi ketika waktu menjadikan jeda diatara kami, hanya doa-doa yang tiada henti. Dan hari ini, doa itu menjadi nyata di hadapanku. Allah, terima kasih untuk kemurahanMu. Ya. Di rinai hujan kali ini, Allah mempertemukan kita lagi. Semoga ini adalah akhir dari perjalanan panjang dan awal untuk sebuah tujuan baru. Di rinai hujan kali ini, kau memintaku untuk menjadi bagian dari hidupmu. Semoga ini akan menjadi cinta yang halal dan berbuah surga. Di rinai hujan kali ini, kau meminangku dengan niat karena Allah SWT. Semoga kita menjadi keluarga yang SAMARA. Aamiin.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Destiny

Part 1 We will never know what will happen tomorrow. Sometimes what we have planned didn't work together with what we expected. That...