Wajah itu selalu tersenyum. Satu jam yang tidak terasa. Seharipun tak apa. Betah rasanya, mendengarkan ibu bercerita. Mata yang selalu berbinar-binar.
Usianya sekitar 40an. Seorang wanita bugis yang kini tinggal di Papua. Datang 3 hari yang lalu ke Jakarta untuk pengobatan bapak yang sudah lama mengidap jantung.
Hari ini kami sedang bersama-sama di kitchenette homestay. Ibu sedang menyiapkan makan siang untuk bapak dan aku baru selesai makan.
"Adek, jauh tidak dari sini ke pasar tanah abang?" Ibu menyapaku dengan logat Indonesia timur yang kental.
"Tidak bunda, tidak jauh. Dekat sekali. Sekitar 15 menit pakai ojeg atau bajaj."
"Oh, tidak jauh rupanya dari sini. Ke arah mana tanah abang dari sini to?"
Obrolan kami terus berlanjut sampai bapak selesai makan. Selama kami duduk bersama, senyum itu terus ada. Kata-katanya indah didengar.
Ternyata usia ibu jauh dari perkiraanku. Tahun ini ibu genap 56 tahun, mempunyai 3 orang cucu dan anak bungsunya sudah bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit di Papua sana. Aku jadi tahu, wajah penuh senyum itu yang membuatnya awet muda.
***
"Welcome to our homestay madam. Have a seat please."
"Yes. Thank you darling."
"May I see your passport, please?"
"Oh, sure."
"How was your flight?
"Good. I had some sleep for a while on my flight so I have full energy to meet you here."
Aku selalu senang bertemu dengan mereka. Orang-orang ekspresif yang tidak pelit dengan sanjungan. Pun tidak sungkan untuk berbicara langsung ketika ada sesuatu yang tidak mereka suka.
Madam Therese, seorang New Zealander. Baru pertama kali datang ke Jakarta. Hari ini berencana berkunjung ke hutan bakau yang berlokasi di bagian utara Jakarta sebelum bertolak menuju Vietnam.
"Sweetie. Where did you learn English speaking?" Sapanya pagi itu.
"Pardon, madam?"
"Where did you learn English?"
"I learn to speak English by self-thought, ma'am. Is any matter?
"No, It is okay. I just wonder because your accent is very fluently."
Senang sekali mendengarnya. Bukan hanya karena pujiannya tapi dari begitu kelihatan tulusnya ketika beliau berbicara. Dan aku belajar dari mereka. Orang-orang yang pernah datang untuk singgah di tempat ini. Sebuah nilai kebaikan.
***
Kali kedua aku berada di rumah sakit ini. Menemani bunda mengambil nomor antrian. Bapak terkena kanker. Sudah dioperasi 3 bulan yang lalu. Ini hari ketiga jadwal bapak untuk penyinaran.
Bunda. Perempuan mungil yang masih menyisakan gurat cantik masa muda di wajah keriputnya. Ayu. Tangannya selalu hangat ketika dia menggenggam tanganku. Di hari pertamanya, dia memasakkan satu mangkok semur tahu untukku. Beruntung sekali, aku diperlakukan seperti anak perempuannya sendiri.
Siang itu aku sedang mengerjakan tugas kuliah. Penambahan naskah dan setting PowerPoint untuk drama performance. Ada bunyi bip dari handphone di sebelahku. Sms dari bunda. "Mb sumi tidur siang ya? Temenin bunda ngobrol yuk di bawah." Dan siang sampai menjelang asar, aku mendengarkan banyak cerita luar biasa dari bunda. Tentang anak-anak, bapak dan banyak hal.
Bunda, orang berada yang tidak pernah membedakan kasta.
***
Kenapa aku di sini? Karena banyak ilmu berharga yang aku dapatkan.
Kenapa aku di sini? Karena aku bisa bertemu dengan orang-orang hebat dari banyak negara sehingga terbuka wawasanku.
Kenapa aku di sini? Karena aku bisa mendapatkan kesempatan menghapus air mata sedih bunda dan menerbitkan tawa untuk mereka.
Kenapa aku di sini? Karena aku bisa mendapatkan teman dan keluarga dari berbagai suku dan banyak negara.
Kenapa aku di sini? Di sini tempat aku belajar untuk menjadi sebaik-baiknya manusia.
Manusia yang bermanfaat. Semoga.
Jakarta, 04032015
Waktu Magrib.
Usianya sekitar 40an. Seorang wanita bugis yang kini tinggal di Papua. Datang 3 hari yang lalu ke Jakarta untuk pengobatan bapak yang sudah lama mengidap jantung.
Hari ini kami sedang bersama-sama di kitchenette homestay. Ibu sedang menyiapkan makan siang untuk bapak dan aku baru selesai makan.
"Adek, jauh tidak dari sini ke pasar tanah abang?" Ibu menyapaku dengan logat Indonesia timur yang kental.
"Tidak bunda, tidak jauh. Dekat sekali. Sekitar 15 menit pakai ojeg atau bajaj."
"Oh, tidak jauh rupanya dari sini. Ke arah mana tanah abang dari sini to?"
Obrolan kami terus berlanjut sampai bapak selesai makan. Selama kami duduk bersama, senyum itu terus ada. Kata-katanya indah didengar.
Ternyata usia ibu jauh dari perkiraanku. Tahun ini ibu genap 56 tahun, mempunyai 3 orang cucu dan anak bungsunya sudah bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit di Papua sana. Aku jadi tahu, wajah penuh senyum itu yang membuatnya awet muda.
***
"Welcome to our homestay madam. Have a seat please."
"Yes. Thank you darling."
"May I see your passport, please?"
"Oh, sure."
"How was your flight?
"Good. I had some sleep for a while on my flight so I have full energy to meet you here."
Aku selalu senang bertemu dengan mereka. Orang-orang ekspresif yang tidak pelit dengan sanjungan. Pun tidak sungkan untuk berbicara langsung ketika ada sesuatu yang tidak mereka suka.
Madam Therese, seorang New Zealander. Baru pertama kali datang ke Jakarta. Hari ini berencana berkunjung ke hutan bakau yang berlokasi di bagian utara Jakarta sebelum bertolak menuju Vietnam.
"Pardon, madam?"
"Where did you learn English?"
"I learn to speak English by self-thought, ma'am. Is any matter?
"No, It is okay. I just wonder because your accent is very fluently."
Senang sekali mendengarnya. Bukan hanya karena pujiannya tapi dari begitu kelihatan tulusnya ketika beliau berbicara. Dan aku belajar dari mereka. Orang-orang yang pernah datang untuk singgah di tempat ini. Sebuah nilai kebaikan.
***
Kali kedua aku berada di rumah sakit ini. Menemani bunda mengambil nomor antrian. Bapak terkena kanker. Sudah dioperasi 3 bulan yang lalu. Ini hari ketiga jadwal bapak untuk penyinaran.
Bunda. Perempuan mungil yang masih menyisakan gurat cantik masa muda di wajah keriputnya. Ayu. Tangannya selalu hangat ketika dia menggenggam tanganku. Di hari pertamanya, dia memasakkan satu mangkok semur tahu untukku. Beruntung sekali, aku diperlakukan seperti anak perempuannya sendiri.
Siang itu aku sedang mengerjakan tugas kuliah. Penambahan naskah dan setting PowerPoint untuk drama performance. Ada bunyi bip dari handphone di sebelahku. Sms dari bunda. "Mb sumi tidur siang ya? Temenin bunda ngobrol yuk di bawah." Dan siang sampai menjelang asar, aku mendengarkan banyak cerita luar biasa dari bunda. Tentang anak-anak, bapak dan banyak hal.
Bunda, orang berada yang tidak pernah membedakan kasta.
***
Kenapa aku di sini? Karena banyak ilmu berharga yang aku dapatkan.
Kenapa aku di sini? Karena aku bisa bertemu dengan orang-orang hebat dari banyak negara sehingga terbuka wawasanku.
Kenapa aku di sini? Karena aku bisa mendapatkan kesempatan menghapus air mata sedih bunda dan menerbitkan tawa untuk mereka.
Kenapa aku di sini? Karena aku bisa mendapatkan teman dan keluarga dari berbagai suku dan banyak negara.
Kenapa aku di sini? Di sini tempat aku belajar untuk menjadi sebaik-baiknya manusia.
Manusia yang bermanfaat. Semoga.
Jakarta, 04032015
Waktu Magrib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar