Senin, 23 Maret 2015

Perjalanan.

Semenjak masuk ke jalan raya depan rumah aku sudah disambut dengan macet. Bakal lumayan lama di jalan pagi ini, pikirku. Kendaraan padat merayap. Padahal biasanya, macet yang lumayan parah akan aku jumpai di depan Pasar Pondok Labu - Fatmawati atau Karang Tengah - Fatmawati. Tapi hari ini hampir sepanjang jalan menuju tempat kerja macet. Sedikit bisa bernafas lega ketika aku keluar dari jalur kereta dan masuk Gatot Subroto.

Alhamdulillah akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Setelah hampir dua jam dikepung bising klakson, pengap asap dan panas keringat yang menganak sungai. Perjalanan yang penuh perjuangan. Menerjang kemacetan Jakarta. Tapi keadaan yang seperti ini tidak lantas membuatku untuk buru-buru pindah dari kota ini. Aku masih mencintai kota besar ini. Aku masih menggantungkan asa dan mimpi besarku di sini. 

****

Sore itu perjalanan dari tempat kerja menuju kampus begitu lengang. Lancar tanpa macet. Sementara lalu lintas menuju arah sebaliknya hampir macet total. Mungkin ini kebiasaan aneh yang aku miliki. Aku selalu mengumpamakan setiap perjalanan lalu lintas dengan perjalanan hidup. Seperti saat ini, ketika perjalananku begitu mulus dan arah sebaliknya sangat macet, aku berpikir : mungkin seperti itulah hidup. Ada saat di mana kehidupan ini begitu mulus, lancar tanpa hambatan tapi pasti akan ada saat di mana akan dijumpai keadaan yang serba sulit, mandeg dan soalah-olah hanya jalan di tempat. Tapi apapun keadaan atau kondisi yang akan aku jumpai, aku selalu meyakini bahwa semuanya pasti akan memberikan pelajaran berharga. Menjadikan aku pribadi yang selalu bersyukur dalam keadaan apapun. Menjadikan aku pribadi yang penuh keyakinan dan sabar bahwa lalu lintas yang sangat macet sekalipun pasti akan terurai. Bahwa dalam keadaan sesulit dan seperti buntu sekalipun pasti akan ada jalan keluar, titik terang dan hadiah terindah ketika bisa melewatinya. Ya, keberhasilan itu dekat sekali, ada di ujung pada saat sudah hampir menyerah tapi kita memutuskan untuk tetap melanjutkan usaha.

****

Aku bukan type orang yang suka mengeluh. Aku hanya ingin orang lain selalu melihatku bahagia. Bahkan ketika sedang sedih sekalipun, aku selalu berusaha untuk tetap bisa menghibur orang lain dan tidak berkeluh kesah dengan teman-temanku. Tidak. Hanya sekali dua dan kepada orang-orang tertentu. Aku selalu berpikir, mereka (teman-temaku) sudah mempunyai masalah masing-masing, kalau aku menambahi mereka dengan masalahku apa aku tidak malah menambahi beban mereka?"

Ketika sedang sedih biasanya aku akan segera mengambil air wudhu dan membaca Al-Qur'an. Jika sudah masuk waktu sholat, segera aku ambil wudhu dan mendirikna sholat. Itu cara paling mudah dan ampuh yang aku lakukan selama ini dan bisa mengusir rasa sedih itu dengan segera.

Tapi jika sedih itu tidak kunjung usai. Aku akan membawa motor bututku keliling Jakarta. Sekali waktu aku berkunjung ke rumah kakak perempuanku. Di lain hari, pergi ke Masjid Istiqlal untuk sholat di sana. Dan esok lusa, pergi ke toko buku  dan betah berlama-lama tinggal atau pergi ke mall untuk membeli segelas cappucino atau satu mangkok ramen untuk menghilangkan penat.

Karena dalam perjalanan menuju tempat-tempat itu, aku selalu menemukan banyak hal yang bisa membuatku tertawa dan aku selalu bisa menemukan banyak hal yang membuatku semakin bersyukur. Aku akan tertawa terbahak-bahak ketika mendapati seorang pengendara sepeda motor yang tidak sabaran atau marah dengan angkutan umum yang tidak juga beranjak padahal sudah diklakson berkali-kali, dengan muka kesal si pengendara sepeda motor akan meneriaki si sopir angkot dan memukul dengan keras body mobil itu dengan tangannya. Apa ya nggak sakit itu tangan ya?
Di lain waktu, aku akan sangat bersyukur ketika menjumpai masih banyak sekali pejalan kaki yang rela berdiri di bawah terik matahari menunggu bus atau angkot yang akan mengantar mereka ke tempat tujuan, rela berdesak-desakan di dalam bus yang sumpek dan sangat panas, sementara aku bisa duduk dengan nyaman di atas kendaraanku sendiri.

Dan satu hal yang paling aku suka, tidak akan ada seorangpun yang tahu jika aku menagis. Karena helm akan menutup rapat air mataku dan masker akan mengusapnya tanpa di minta. Atau jika helm dalam keadaan terbuka, angin akan mengusapnya dengan suka rela.


Sumi Hanif
Jakarta, 240315

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Destiny

Part 1 We will never know what will happen tomorrow. Sometimes what we have planned didn't work together with what we expected. That...