Rabu, 06 Januari 2016

Dilema

Hari pertama masuk kelas. Bertemu dengan anak-anak setelah dua pekan libur akhir semester.
Senyum sumringah menyambut jejak langkah. Beberapa pasang mata mengintip dari celah pintu ruang guru yang sedikit terbuka. Sambutan gembira mereka, menghidupkan lagi semangat yang berapa hari belakangan ini hampir mati. Alhamdulillah, bisa kembali ke dalam lingkaran orang-orang hebat di garis terdepan pencetak generasi bangsa masa depan.

Sebenarnya aku sedang berada di persimpangan. Meneruskan langkah mulia ini atau kembali fokus mengejar mimpi-mimpi pribadi. Walaupun menjadi tenaga pengajar sebenarnya juga termasuk di dalamnya tapi aku merasa bersalah. Seolah aku sedang menjadi penghianat. Kurang bersyukur.

Tawaran menjadi guru datang tanpa disangka. Sudah lama aku memimpikan profesi ini. Hanya beselang beberapa minggu setelah sebelumnya aku mencari informasi ke teman-teman kelas, barangkali ada yang punya informasi tentang yayasan sosial yang butuh tenaga pengajar gratis. Setelah searching dan googling dengan hasil nihil, kejutan itu datang. Seseorang yang belum aku kenal sebelumya datang ke tempat kerja, memberi tawaran untuk menjadi pengajar di sekolah swasta di yayasan miliknya. Masya Allah, betapa rizki dengan mudah Allah datangkan dari arah mana saja. Awal September lalu, petama kali aku mencoba menguji kemampuan yang masih secuil ini.

Keleluasaan waktu yang ada, memudahkan aku menjalani dua profesi secara bersama-sama. Alhamdulillah berikutnya, karena pemilik homestay yang aku kelola tidak mempermasalahkan dua hari dalam seminggu yang terpakai untuk profesi baru menjadi guru. Pengalaman luar biasa di minggu-minggu pertama.

Sekarang aku mempunyai double income yang bisa melebarkan jalan bagi mimpi simbok dan bapak untuk segera berumrah bersama. Doa-doa tanpa henti juga senatiasa aku panjatkan, semoga bisa menyertai mereka dan pergi bersama-sama. Alhamdulillah yang ketiga. Niat awal untuk menjadi tenaga pengajar sukarela, Allah lebihkan dengan sedikit bayaran. Sesuai kesepakatan awal dengan pihak sekolah mengenai honor mengajar, sepertinya tidak butuh waktu lama untuk bisa mengumpulkan jumlah uang yang dibutuhkan.

Dua bulan menghabiskan sisa semester dengan anak-anak membuat waktu seolah berjalan lebih cepat. Hari ini pihak sekolah memanggil, meminta supaya bisa meluangkan waktu untuk mengajar kelas satu,dua, dan tiga. Allah, dengan kemapuan ilmu yang belum seberapa bahkan mengajar kelas satu saja belum sempurna. Aku mendadak malu dengan diriku sendiri. Seolah-olah bahwa aku terlalu serakah. Mampukah? Perlahan perasaan ragu mulai membuat tak enak hati.

Aku menghitung ulang. Jika aku ambil semua jam, berarti pekerjaan di homestay akan banyak ditinggalkan. Sementara gaji masih penuh tanpa potongan. Jika aku tinggalkan homestay dan sepenuhnya mengabdi menjadi guru, biaya kuliah dan mimpi orang tuaku akan semakin jauh panggang dari api. Bukan membandingkan. Honor gaji guru jika semua jam diambilpun belum ada setengahnya dari penghasilan yang aku dapat di tempat kerja yang satunya. Sementara untuk meninggalkan anak-anak, masih terasa berat. Baru kemarin. Apakah harus berpisah secepat ini? Dilema.

Memaksakan diri menjalani keduanya akan semakin membuat merasa bersalah karena tidak bisa memberikan yang maksimal. Atau, barangkali aku harus kembali ke titik awal dan melepaskan salah satu mimpi menjadi tenaga pengajar. Mungkin nanti, ketika ilmu sudah mumpuni, Allah akan memberi kesempatan lagi untuk kembali berada di garda paling depan mengukir laskar pelangi. Ya, sepertinya aku memang harus mengambil langkah mundur untuk lompatan yang lebih tinggi. Allah, semoga keputusan ini tidak salah. Tetap saja. Ini masih dilema.


Jakarta, 06 Januari 2016
9:04 ba'da Isa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Destiny

Part 1 We will never know what will happen tomorrow. Sometimes what we have planned didn't work together with what we expected. That...