Seharian ini hujan tak berhenti. Titik-titik kecil itu
menutup kaca jendela. Jam makan siang masih tersisa. Aku teringat pada setoran
bacaan untuk hari ini, masih kurang tiga lembar lagi. Lembar-lembar yang selalu
menjadi penawar. Ayat-ayat yang menjadi senjata untuk kuat. Di sini aku selalu menemukan
bahagia.
“Ping!”
“Yang, pulang kantor aku jemput ya. Kita mampir ke warto
(Warung Soto) langganan.”
Pesan dari suami, yang hingga di tahun kedua pernikahan kami
tidak pernah terkurangi. Walau ajakan untuk makan di luar paling banter
seminggu sekali, bagiku pria tanpa cela ini adalah rizki istimewa yang patut
disyukuri.
Dua tahun lalu.
“Ma, semoga ini yang terakhir untuk Tia.”
“Bagaimana agamanya?” Mama menatap dalam. Aku mengangkat kedua
ibu jari kemudian memeluk mama erat. Mama tahu semuanya. Hampir tidak ada
rahasia di antara kami berdua.
“Tanyakan kapan dia mau datang ke rumah? Kalau belum jelas lebih
baik tidak usah saja. Ingat umur Tia.” Aku mengangguk, meyakinkan.
Mas Faras, pria sederhana yang seminggu lalu dikenalkan
Karina. Lelaki yang berani meminta kepada mama untuk menjadikan aku istri dan
madrasah pertama untuk anak-anaknya. Lelaki yang aku terima atas restu mama.
Jakarta, 17 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar