Temaram lampu kian meredupkan sorot matamu. Datar. Tak ada lagi binar harapan di sana. Semakin menambah luka yang sudah menganga sebelumnya. Semakin dalam, menggurita menjadi akut.
Kak Riu. Entah apa yang ada di segumpal daging dalam rongga dadamu kini. Aku hanya bisa membantu menuntunmu keluar dari ruang hampa itu dengan doa. Sudah segala cara. Dari yang masuk akal sampai cara yang tidak bisa aku terima. Hanya untuk kesembuhan jiwamu.
Bukan siapa yang salah dan siapa yang benar. Semuanya sudah terjadi. Ketika aku harus menjerit dengan keadaan ini, kepada siapa?. Hanya membuatku semakin takut saja. Menjadi sosok egois. Begitu cintanya aku padamu. Begitu memujanya aku pada kesempurnaan parasmu. Begitu irinya aku dengan kasih sayang yang berlimpah untukmu. Aku ingin menjadi penyembuh luka batinmu. Menjadi bidadari impian seperti yang kau impikan.
Malam semakin kelam. Pijar harapan di matamu kian hilang. Satu demi satu lampu dipadamkan. Satu lagi kebiasaan anehmu yang tidak bisa dipahami. Kamu tidak pernah tidur semalaman. Wajah yang dulu gemuk tampan, sekarang kelihatan tirus tak bertulang. Bukan aku saja yang sudah dibuat menangis dengan keadaanmu. Semua. Semua orang yang menyayangimu. Semua keluarga yang dulu pernah kamu buat bahagia.Tuhan, ingin aku menagis sejadi-jadinya. Cobaan apa yang sedang Kau timpakan kepada kami ini.
***********
Masih lekat dalam ingatanku. Masa-masa indah waktu kita kecil dulu. Tidak ada orang lain yang aku idolakan selain kamu. Wajah bule tampan berlesing pipi. Anak laki-laki cerdas yang selalu menjadi juara kelas. Dan kakak yang selalu menjadi kebanggaanku. Riu.
Jarang sekali orang tidak jatuh hati kepadamu. Sosok penurut kebanggaan ayah ibu. Apapun yang ayah ibu perintahkan, apapun yang aku atau kakak pinta salalu kamu kerjakan. Ibadahmu rajin, sekolahmu pintar. Sesalu, dan selalu menjadi kebanggan dimanapun kamu berada.
Siang itu, kita berdua bermain ketapel selepas pulang sekolah. Bercanda dan tertawa gembira. Sangat bahagia. Tiba-tiba anak ketapelmu mengenai mataku. Aku menangis sejadi-jadinnya. Aku mengejarmu untuk membalas dan kamu berlari ke arah ibu. Apa yang terjadi. Bukannya ibu membelaku tapi malah balik memarahiku. Sedih sekali rasanya. Tapi hanya sebentar, selanjutnya kamu tetaplah idola kesayanganku.
Ingatkah Kak Riu? Ketika kita berdua berguluh di bawah selimut sewaktu hujan. Sebuah selimut tua berwarna coklat satu-satunya yang selalu menjadi rebutan kita berdua. Selimut yang menjadi pelindung dingin ketika musim kemarau tiba. Iseng, aku menjailimu.
“Kak, kita tutup rapat-rapat selimut ini ya. Jangan sampai ada celah sedikitpun” kataku
Dengan bersemangat, celah-celah yang ada di samping kita rapatkan. Kamu tidak tahu apa yang aku rencanakan.
“Sudah rapat kan kak”aku berbisik dalam gelap
“Sudah”jawabmu singkat.
Dan aku dengan senyum licik, mengeluarkan amunisiku. Aku buang angin super di dalam balutan selimut yang demikian rapat. Menguarkan aroma yang benar-benar menyengat. Bau tidak sedap menjalar perlahan. Kita masih bergelung di bawah selimut yang sama ketika tiba-tiba kamu mengendus-enduskan pencuimanmu. Dan,,,,
“Seperti ada bau kentut ya dek” tanya Kak Riu.
“Masa sih, enggak ah” jawabku masih berpura-pura tidak tahu.
“ Iya, beneran. Jangan-jangan,,,kamu kentut ya???
Sebelum Kak Riu menyeleseaikan kata-katanya aku langsung melesat, melarika diri dari gelungan. Tertawa lepas sejadi-jadinya. Rasa bangga karena berhasil mengerjaimu sampai membuatku sesak.
"Bauuuu" teriakmu kuat-kuat sambil mengejarku.
Itu 10 tahun yang lalu. Begitu indah hari-hari yang kita miliki. Canda, tawa, bertengkar kemudian berbaikan lagi. Tapi kini aku benar-benar merindukan kenangan indah itu. Aku berusaha mencarinya di sorot matamu. Hampa. Tidak ada lagi binar emosi di situ. Hanya tatapan kosong tanpa makna. Ah, taka kuat lagi aku menatapmu lebih lama. Dan bilur luka ini semakin menganga.
********
Sudah lama sebenarnya, aku menangkap ada yang aneh pada dirimu. Ketika tiba-tiba kamu berubah menjadi lebih pendiam. Ketika obrolan-obrolan kita tentang apa yang kita baca tidak lagi menemukan titik temu. Dan kamu berubah menjadi pribadi yang egois. Ya, aku sudah merasakannya sejak itu.
Aku selalu punya perasaan yang kuat tentang apapun. Termasuk keanehan-keanehan yang perlahan merasukimu. Malam itu, tidak begitu lucu acara TV yang kita tonton. Tapi tiba-tiba kamu tertawa terbahak-bahak. Seketika aku melihat ke arahmu.
"Kenapa kak? Perasaan tadi nggak ada yang lucu deh" tanyaku curiga.
"Nggak, pengen ketawa aja" jawabmu singkat. Tak ada kontak mata. Ku lihat tatapanmu juga tidak mengarah ke televisi. Kemudian kejadian-kejadian itu terus berulang dan semakin sering terjadi.
Bersambung,,,,
Pagi Setelah Dhuha
Jakarta, 28052014
Kak Riu. Entah apa yang ada di segumpal daging dalam rongga dadamu kini. Aku hanya bisa membantu menuntunmu keluar dari ruang hampa itu dengan doa. Sudah segala cara. Dari yang masuk akal sampai cara yang tidak bisa aku terima. Hanya untuk kesembuhan jiwamu.
Bukan siapa yang salah dan siapa yang benar. Semuanya sudah terjadi. Ketika aku harus menjerit dengan keadaan ini, kepada siapa?. Hanya membuatku semakin takut saja. Menjadi sosok egois. Begitu cintanya aku padamu. Begitu memujanya aku pada kesempurnaan parasmu. Begitu irinya aku dengan kasih sayang yang berlimpah untukmu. Aku ingin menjadi penyembuh luka batinmu. Menjadi bidadari impian seperti yang kau impikan.
Malam semakin kelam. Pijar harapan di matamu kian hilang. Satu demi satu lampu dipadamkan. Satu lagi kebiasaan anehmu yang tidak bisa dipahami. Kamu tidak pernah tidur semalaman. Wajah yang dulu gemuk tampan, sekarang kelihatan tirus tak bertulang. Bukan aku saja yang sudah dibuat menangis dengan keadaanmu. Semua. Semua orang yang menyayangimu. Semua keluarga yang dulu pernah kamu buat bahagia.Tuhan, ingin aku menagis sejadi-jadinya. Cobaan apa yang sedang Kau timpakan kepada kami ini.
***********
Masih lekat dalam ingatanku. Masa-masa indah waktu kita kecil dulu. Tidak ada orang lain yang aku idolakan selain kamu. Wajah bule tampan berlesing pipi. Anak laki-laki cerdas yang selalu menjadi juara kelas. Dan kakak yang selalu menjadi kebanggaanku. Riu.
Jarang sekali orang tidak jatuh hati kepadamu. Sosok penurut kebanggaan ayah ibu. Apapun yang ayah ibu perintahkan, apapun yang aku atau kakak pinta salalu kamu kerjakan. Ibadahmu rajin, sekolahmu pintar. Sesalu, dan selalu menjadi kebanggan dimanapun kamu berada.
Siang itu, kita berdua bermain ketapel selepas pulang sekolah. Bercanda dan tertawa gembira. Sangat bahagia. Tiba-tiba anak ketapelmu mengenai mataku. Aku menangis sejadi-jadinnya. Aku mengejarmu untuk membalas dan kamu berlari ke arah ibu. Apa yang terjadi. Bukannya ibu membelaku tapi malah balik memarahiku. Sedih sekali rasanya. Tapi hanya sebentar, selanjutnya kamu tetaplah idola kesayanganku.
Ingatkah Kak Riu? Ketika kita berdua berguluh di bawah selimut sewaktu hujan. Sebuah selimut tua berwarna coklat satu-satunya yang selalu menjadi rebutan kita berdua. Selimut yang menjadi pelindung dingin ketika musim kemarau tiba. Iseng, aku menjailimu.
“Kak, kita tutup rapat-rapat selimut ini ya. Jangan sampai ada celah sedikitpun” kataku
Dengan bersemangat, celah-celah yang ada di samping kita rapatkan. Kamu tidak tahu apa yang aku rencanakan.
“Sudah rapat kan kak”aku berbisik dalam gelap
“Sudah”jawabmu singkat.
Dan aku dengan senyum licik, mengeluarkan amunisiku. Aku buang angin super di dalam balutan selimut yang demikian rapat. Menguarkan aroma yang benar-benar menyengat. Bau tidak sedap menjalar perlahan. Kita masih bergelung di bawah selimut yang sama ketika tiba-tiba kamu mengendus-enduskan pencuimanmu. Dan,,,,
“Seperti ada bau kentut ya dek” tanya Kak Riu.
“Masa sih, enggak ah” jawabku masih berpura-pura tidak tahu.
“ Iya, beneran. Jangan-jangan,,,kamu kentut ya???
Sebelum Kak Riu menyeleseaikan kata-katanya aku langsung melesat, melarika diri dari gelungan. Tertawa lepas sejadi-jadinya. Rasa bangga karena berhasil mengerjaimu sampai membuatku sesak.
"Bauuuu" teriakmu kuat-kuat sambil mengejarku.
Itu 10 tahun yang lalu. Begitu indah hari-hari yang kita miliki. Canda, tawa, bertengkar kemudian berbaikan lagi. Tapi kini aku benar-benar merindukan kenangan indah itu. Aku berusaha mencarinya di sorot matamu. Hampa. Tidak ada lagi binar emosi di situ. Hanya tatapan kosong tanpa makna. Ah, taka kuat lagi aku menatapmu lebih lama. Dan bilur luka ini semakin menganga.
********
Sudah lama sebenarnya, aku menangkap ada yang aneh pada dirimu. Ketika tiba-tiba kamu berubah menjadi lebih pendiam. Ketika obrolan-obrolan kita tentang apa yang kita baca tidak lagi menemukan titik temu. Dan kamu berubah menjadi pribadi yang egois. Ya, aku sudah merasakannya sejak itu.
Aku selalu punya perasaan yang kuat tentang apapun. Termasuk keanehan-keanehan yang perlahan merasukimu. Malam itu, tidak begitu lucu acara TV yang kita tonton. Tapi tiba-tiba kamu tertawa terbahak-bahak. Seketika aku melihat ke arahmu.
"Kenapa kak? Perasaan tadi nggak ada yang lucu deh" tanyaku curiga.
"Nggak, pengen ketawa aja" jawabmu singkat. Tak ada kontak mata. Ku lihat tatapanmu juga tidak mengarah ke televisi. Kemudian kejadian-kejadian itu terus berulang dan semakin sering terjadi.
Bersambung,,,,
Pagi Setelah Dhuha
Jakarta, 28052014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar