Hujan
deras megguyur kota kecilku lagi. Hampir setiap sore, jarum-jarum kristal itu turun dari langit menggantikan hangat mentari. Hawa
dingin kian merasuk hingga ke tulang. Kulihat dari jendela kamar, jalanan di
depan rumah masih ramai dengan lalu lalang kendaraan. Gigil semakin terasa.
Kututup kelambu dan aku kembali ke layar monitor yang masih berpendar di meja
kerja.
Terngiang
kembali kata-katamu.
“Cinta
kita tidak akan berjalan mulus jika di antara kita ada orang ketiga”
“Orang
ketiga? Dari pihak siapa? Aku?
“Aku
tidak megatakan dari pihak siapa? Tapi tolong dengar dan resapi baik-baik
kata-kataku”
“Trus
hubungan kita mau dibawa ke mana? Putus? Atau terus?”
“Terserah
kamu”
“Kok
terserah. Aku hanya ingin jawaban iya atau tidak. Simple”
“Kalau
kamu menginginkan aku yang sempurna, kamu jangan terlalu banyak berharap. Aku
tidak bisa.”
Dan
kita selesai. Singkat sekali. Tapi butuh waktu untuk menjadi terbiasa ketika
hari-hari berikutnya tidak ada kamu lagi.
.
.
Cintaku
padamu tidak seketika ada karena pandangan pertama. Bukan sekali ini. Tapi
sering kali ketika aku dihadapkan dengan yang namanya cinta, aku harus berpikir
panjang untuk mengatakan iya atau tidak.
Karena aku berharap cinta yang aku bina akan berujung pada pernikahan. Pun
ketika aku pertama kali diperkenalkan denganmu. Aku belajar mecintaimu dan aku
belajar banyak tentangmu.
Dan
ketika cinta di hatiku mulai tumbuh, aku masih belum yakin apakah begitu juga
sebaliknya perasaanmu padaku. Tapi aku selalu meyakinkan diriku bahwa semuanya
akan baik-baik saja. Aku yakin karena niat awal hubungan ini adalah menikah.
.
.
Kamu
memandangku lama. Tidak ada kata di antara kita. Hening. Hanya desir angin yang
coba mengusik dedaunan pucuk merah di
taman atap. Sesekali aku menatap langit untuk mengusir jengah. Menghitung
gemintang yang berpendar indah di atas sana.
“Apa
yang tidak kamu sukai dari aku” suaramu memecah sunyi.
“Tidak
ada. Belum ada” jawabku
“
Aku orang seberang, banyak penilaian negatif yang kamu dengar tentang aku.
Maukah kamu menjadi istriku?”
Diam.
Hembusan nafas kita berdua saling menyahut memecah sunyi.
“Aku
menerima cintamu bukan untuk membedakan suku, asal usul tanah kelahiran atau
masa lalumu karena aku juga bukan pribadi yang sempurna. Jika kamu bisa menjadi
imamku dan anak-anak kita nanti, aku siap menjadi pendampingmu”
Malam
kian bisu. Janji yang terucap mengantarku
hingga lelap.
Ada
rasa bangga ketika melihat senyum mengembang di wajah indahmu. Tiga tahun
berlalu, sudah membawa banyak perubahan. Kamu juga aku. Begitu percaya diri
kamu menjabat tanganku. Dengan setelan rapi di balut Toga, kamu memelukku
hangat.
“Terima
kasih Ri, sudah menyempatkan waktu untuk datang ke acara wisudaku. Kenalkan,
ini Ren calon istriku. Ren, Ini Ri, sahabat baikku”
Ada
haru yang membuncah. Kami saling berpelukan, berjabat hangat.
Aku
tersenyum bahagia. Aku peluk Ren dan
Rian bergantian.
“
Dan,,Rian, ini Ken , suamiku. He is German that I told you before. Ken, he is
Rian, my bestfriend”
“Hi,
Rian,nice to meet you. Ri told me so many thing about you”
Kami
merasakan bahagia yang sama. Dan orang yang paling bahagia saat ini adalah aku.
Karena aku masih bisa memiliki kamu,
Rian, sebagai sahabat baikku juga Ken,
sosok baik hati yang menjadi suamiku.
Apapun
yang manusia rencanakan, Tuhan jualah yang Maha Menentukan. Aku pernah menangis
karena janji yang diingkari. Tapi aku bersyukur karena satu janjimu yang masih
kamu pegang hingga detik ini.
“Walaupun kamu sudah bukan milikku,
berjanjilah untuk tetap menjadi temanku. Aku diperkenalkan denganmu dalam
keadaan baik, kita berpisah juga dengan baik-baik. Dan aku masih ingin menjadi
bagian terbaik di hidupmu. Sebagai teman. Aku bisa dan akan terbiasa melihatmu
dengan wanita pilihanmu. Tapi aku tidak bisa melihatmu menghilang dan pergi
tanpa kabar”
Terima
kasih Rian untuk keputusanmu tiga tahun silam. Rasa yang kamu hadirkan sudah
melecut semangatku untuk melanjutkan pendidikanku. Sebentar lagi, aku juga aka
mengenenakan Toga yang sama. Terima kasih, sudah menjadi sahabatku.
Terima
kasih Ken, sudah memilihku menjadi bidadari dalam hidupmu. Kita beda benua,
beda negara, beda budaya tapi kita bisa menjadi satu karena cinta. Semoga
syahadadmu mempertemukan kita di syurgaNya.
Dan
untuk Ren, jadilah wanita terbaik untuk Rianku. Menjadi ibu yang manis untuk
anak-anak buah cinta kalian. Rian sahabatku, aku juga ingin menjadi sahabatmu.
Terima
kasih waktu. Kamu sudah menjadi obat yang begitu mujarab untuk sebuah luka.
Janji yang di ingkari. Menjadi sahabat setia yang mengantarkan cintaku
menemukan tambatan hati yang hakiki. Menjawab semua doa dan asa yang dulu
mustahil terjadi.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam keadaan merugi (celaka). Kecuali orang-orang yang beriman, beramal sholeh, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran." (Al-Ashr : 1-3)
Untuku
dan kalian. Ken, Rian, Ren. Semoga kita tidak termasuk golongan orang-orang
yang merugi. Semoga.
Wonosobo,
060820 14
Ba’da
dhuha.
.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar