Jumat, 08 Agustus 2014

Titip Cinta Untuk Rian

Hujan deras megguyur kota kecilku lagi. Hampir setiap sore, jarum-jarum kristal itu turun  dari langit menggantikan hangat mentari. Hawa dingin kian merasuk hingga ke tulang. Kulihat dari jendela kamar, jalanan di depan rumah masih ramai dengan lalu lalang kendaraan. Gigil semakin terasa. Kututup kelambu dan aku kembali ke layar monitor yang masih berpendar di meja kerja.
Terngiang kembali kata-katamu.
“Cinta kita tidak akan berjalan mulus jika di antara kita ada orang ketiga”
“Orang ketiga? Dari pihak siapa? Aku?
“Aku tidak megatakan dari pihak siapa? Tapi tolong dengar dan resapi baik-baik kata-kataku”
“Trus hubungan kita mau dibawa ke mana? Putus? Atau terus?”
“Terserah kamu”
“Kok terserah. Aku hanya ingin jawaban iya atau tidak. Simple”
“Kalau kamu menginginkan aku yang sempurna, kamu jangan terlalu banyak berharap. Aku tidak bisa.”
Dan kita selesai. Singkat sekali. Tapi butuh waktu untuk menjadi terbiasa ketika hari-hari berikutnya tidak ada kamu lagi.
                                                                                                .
                                                                                                .
Cintaku padamu tidak seketika ada karena pandangan pertama. Bukan sekali ini. Tapi sering kali ketika aku dihadapkan dengan yang namanya cinta, aku harus berpikir panjang untuk  mengatakan iya atau tidak. Karena aku berharap cinta yang aku bina akan berujung pada pernikahan. Pun ketika aku pertama kali diperkenalkan denganmu. Aku belajar mecintaimu dan aku belajar banyak tentangmu.
Dan ketika cinta di hatiku mulai tumbuh, aku masih belum yakin apakah begitu juga sebaliknya perasaanmu padaku. Tapi aku selalu meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku yakin karena niat awal hubungan ini adalah menikah.
                                                                                                .
                                                                                                .
Kamu memandangku lama. Tidak ada kata di antara kita. Hening. Hanya desir angin yang coba mengusik dedaunan pucuk merah di taman atap. Sesekali aku menatap langit untuk mengusir jengah. Menghitung gemintang yang berpendar indah di atas sana.
“Apa yang tidak kamu sukai dari aku” suaramu memecah sunyi.
“Tidak ada. Belum ada” jawabku
“ Aku orang seberang, banyak penilaian negatif yang kamu dengar tentang aku. Maukah kamu menjadi istriku?”
Diam. Hembusan  nafas kita berdua saling menyahut memecah sunyi.
“Aku menerima cintamu bukan untuk membedakan suku, asal usul tanah kelahiran atau masa lalumu karena aku juga bukan pribadi yang sempurna. Jika kamu bisa menjadi imamku dan anak-anak kita nanti, aku siap menjadi pendampingmu”
Malam kian  bisu. Janji yang terucap mengantarku hingga lelap.


Ada rasa bangga ketika melihat senyum mengembang di wajah indahmu. Tiga tahun berlalu, sudah membawa banyak perubahan. Kamu juga aku. Begitu percaya diri kamu menjabat tanganku. Dengan setelan rapi di balut Toga, kamu memelukku hangat.
“Terima kasih Ri, sudah menyempatkan waktu untuk datang ke acara wisudaku. Kenalkan, ini Ren calon istriku. Ren, Ini Ri, sahabat baikku”
Ada haru yang membuncah. Kami saling berpelukan, berjabat hangat.
Aku tersenyum bahagia. Aku peluk Ren dan  Rian bergantian.
“ Dan,,Rian, ini Ken , suamiku. He is German that I told you before. Ken, he is Rian, my bestfriend”
“Hi, Rian,nice to meet you. Ri told me so many thing about you”
Kami merasakan bahagia yang sama. Dan orang yang paling bahagia saat ini adalah aku. Karena aku masih  bisa memiliki kamu, Rian, sebagai sahabat baikku  juga Ken, sosok baik hati yang menjadi suamiku.
Apapun yang manusia rencanakan, Tuhan jualah yang Maha Menentukan. Aku pernah menangis karena janji yang diingkari. Tapi aku bersyukur karena satu janjimu yang masih kamu pegang hingga detik ini.
Walaupun kamu sudah bukan milikku, berjanjilah untuk tetap menjadi temanku. Aku diperkenalkan denganmu dalam keadaan baik, kita berpisah juga dengan baik-baik. Dan aku masih ingin menjadi bagian terbaik di hidupmu. Sebagai teman. Aku bisa dan akan terbiasa melihatmu dengan wanita pilihanmu. Tapi aku tidak bisa melihatmu menghilang dan pergi tanpa kabar”
Terima kasih Rian untuk keputusanmu tiga tahun silam. Rasa yang kamu hadirkan sudah melecut semangatku untuk melanjutkan pendidikanku. Sebentar lagi, aku juga aka mengenenakan Toga yang sama. Terima kasih, sudah menjadi sahabatku.
Terima kasih Ken, sudah memilihku menjadi bidadari dalam hidupmu. Kita beda benua, beda negara, beda budaya tapi kita bisa menjadi satu karena cinta. Semoga syahadadmu mempertemukan kita di syurgaNya.
Dan untuk Ren, jadilah wanita terbaik untuk Rianku. Menjadi ibu yang manis untuk anak-anak buah cinta kalian. Rian sahabatku, aku juga ingin menjadi sahabatmu.
Terima kasih waktu. Kamu sudah menjadi obat yang begitu mujarab untuk sebuah luka. Janji yang di ingkari. Menjadi sahabat setia yang mengantarkan cintaku menemukan tambatan hati yang hakiki. Menjawab semua doa dan asa yang dulu mustahil terjadi.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam keadaan merugi (celaka). Kecuali orang-orang yang beriman, beramal sholeh, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran."  (Al-Ashr : 1-3)
Untuku dan kalian. Ken, Rian, Ren. Semoga kita tidak termasuk golongan orang-orang yang merugi. Semoga.

Wonosobo, 060820 14
Ba’da dhuha.
                                                                                                .
                                                                                                .





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Destiny

Part 1 We will never know what will happen tomorrow. Sometimes what we have planned didn't work together with what we expected. That...